BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadist adalah
segala apa yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw. Baik mengenai perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan beliau. Ada tuduhan dalam teks hadist terdapat
inkonsistensi status sebuah perkara yang nantinya akan menimbulkan pemikiran
yang negatif. Bahwa Nabi umat islam tidak konsisten, anggapan semacam itu
adalah kesalahan orang yang memang tidak paham, bahkan tidak mengetahui seluk
beluk ilmu hukum. Pakar hukum islam (mujtahid) terdahulu mengkaji dan meneliti
dalil yang secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat
langkah-langkah penyelesaian.
Dalam makalah
ini akan di bahas Nasikh dan Mansukh, Tekstual dan Kontekstual, Tematik, dan
Kompromi. sebagai metode-metode yang berdasarkan para ulama hadist dalam
menyelesaikan permasalahan seputar kontradiksi hadist.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Nasikh
Mansukh?
2.
Apa pengertian
Tekstual Kontekstual?
3.
Apa pengertian
Tematik?
4.
Apa pengertian
Kompromi?
5.
Bagaimana cara
mengetahui setiap Metode Pemahaman Hadist tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nasikh Mansukh.
Secara etimologi kata nasikh adalah
bentuk isim fa’il, sedangkan mansukh adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja
nasakha yang mempunyai beberapa makna seperti At tabdil, dan At tahwil.
Menurut istilah adalah ilmu yang
membahas hadist-hadist yang saling berlawanan maknanya, yang tidak mungkin
dapat di kompromikan dari segi hukum dengan cara menentukan salah satu hadist
sebagai Nasikh(penghapus) dan hadist yang
lain sebagai mansukh (yang dihapus).[1] Hadist yang mendahului
adalah sebagai mansukh dan hadist yang terakhir adalah sebagai nasikh.
Contohnya: hadist tentang ziarah kubur. Hadist pertama melarang orang untuk
ziarah kubur(hadist yang dihapus). Kemudian datang hadist kedua yang
membolehkan orang untuk ziarah kubur(hadist yang menghapus). Dari dua hadist
tersebut maka yang di amalkan adalah hadist yang membolehkan.
Cara mengetahui
Nasikh dan Mansukh yaitu:
1.
Pernyataan dari
Rasulullah Saw (penjelasan).
2.
Media (perkiraan dan
penjelasan dari sahabat).
3.
Fakta Sejarah.
4.
Ijma’ Ulama.[2]
B.
Pengertian
Tekstual dan Kontekstual.
Kata
kontekstual (historis) berasal dari “konteks” yang di dalam kamus besar
bahasa indonesia mengandung dua arti
yaitu:
1.
Bagian sesuatu uraian
atau kalimat yang dapat mendukung dan kejelasan makna.
2.
Situasi yang
ada hubungan dengan suatu
kejadian. Tekstual (normatif)
adalah pemahaman atas Nabi tanpa memperdulikan proses sejarah yang
melahirkannya.[3]
Tekstual mencakup
batasan-batasan yaitu:
1.
Menyangkut ide moral
atau ide dasar atau tujuan.
2.
Ide moral atau ide
dasar ini di tentukan dari makna di balik teks (tersirat) sifatnya yang universal dan lintas ruang waktu.
3.
Bersifat absolut,
universal, fundamental.
4.
Mempunyai visi
keadilan, demokrasi, mu’asyarah bil ma’ruf.
5.
Menyangkut relasi
langsung dan spesifik, manusia dengan Tuhan yang bersifat universal (bisa di
lakukan siapa pun, kapan pun, dan dimana pun).
Kontekstual mencakup
batasan-batasan yaitu:
1.
Menyangkut sarana atau
bentuk.
Bentuk adalah sarana, sehingga
kontekstual sifatnya. Dengan demikian, mengikuti Nabi tidak harus berarti
berbicara dengan bahasa nabi, memakai nama arab, menyantap kurma sebagai menu
utama, berpoligami, memiliki budak, menggunakan hukum rajam, qisas dan lain
sebagainya.
2.
Mengatur hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis.
Sebagai individu dan sebagai
makhluk biologis, manusia membutuhkan makanan dan minuman. Apa yang di makan
dan apa yang di minum umat islam dan bagaimana manusia makan dan mengolahnya
itu adalah wilayah kontekstual, tidak terbatas pada apa yang di makan dan di
minum Nabi dan cara Nabi memakannya. Ide dasar yang dapat kita tiru pada ajaran
nabi bahwa apa yang kita makan dan kita minum adalah sesuatu yang halal dan
tidak berlebih-lebihan.
3.
Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya.
Semua aspek yang mengatur
bagaimana manusia berhubungan dengan orang lain, dengan alam dan dengan seluruh
makhluk di bumi adalah wilayah kontekstual.
Ide dasar yang bisa kita contoh dari Nabi adalah tidak melanggar tatanan
dalam kerangka untuk menjaga jiwa, kehormatan, keadilan, dan persamaan serta
stabilitas secara keseluruhan dalam kerangka tunduk kepada pencipta.
4.
Terkait persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, IPTEK.
Tatanan sosial, ekonomi,
politik, budaya manusia, tidak membatasi diri pada bentuk-bentuk persis pada masa Nabi, tetapi senantiasa di sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
serta ketetapan hal itu di terapkan. Misalnya masalah ekonomi pada masa
Nabi. Pada masa nabi mengenai masalah
transaksi jual beli yang sesuai dengan ketetapan pada masa itu.
Cara mengetahui
hadist tekstual dan kontekstual, kita bisa melihat dari sisi matan hadist, yang
mana ungkapan matan hadist mempunyai beberapa corak atau model diantaranya
yaitu:
1.
Jawami ‘al kalim. (ungkapan singkat namun padat maknanya)
2.
Bahasa Tamsil.
3.
Ungkapan Simbolik.
4.
Bahasa percakapan (dialog).
5.
Ungkapan Analogi.[4]
Jadi, Tekstual dan Kontesktual pemahaman
terhadap sebuah hadist bisa di lakukan dengan pendekatan tekstual (berdsarkan
teks yang tertulis) dan kontekstual mengacu kepada konteksnya). Contohnya :
hadist tentang larangan wanita menjadi pemimpin.
Jika hadist tersebut
di pahami secara tekstual, maka wanita tidak dibolehkan menjadi pemimpin atau
presiden. Tapi, jika di pahami secara kontekstual, maka pemahamannya adalah ada
saatnya wanita di larang jadi pemimmpin, ada kalanya wanita di bolehkan jadi
pemimpin.
C. Pengertian Tematik.
Istilah metode tematik dalam pengkajian hadist nabi
merupakan terjemah dari al manhaj al maudu’i fi syara al hadist. Selain metode
tematik, di kenal sebelumnya dalam metode tahlili dan metode muqaran. Metode
tahlili mengandung pengertian pensyarahan atau pengkajian hadist secara rinci
dari berbagai aspek tinjaun berdasarkan struktur matan sebuah hadist atau
urutan matan hadist dari suatu kitab hadist secara runtut.[5]
Jadi, pemahaman hadist dengan metode tematik lebih menfokuskan pada kesamaan
tema antara beberapa hadist. Contohnya hadist tentang memanjangkan celana atau
sarung melebihi mata kaki. Hadist tersebut berjumlah sekitar enam-delapan
hadist sebagian memang berisi larangan melebihkan sarung atau celana melebihi
mata kaki. Sebagian lagi menyatakan yang sebaliknya. Sebagaimana lagi
menyebutkan larangan tapi di ikuti dengan sikap sombong. Dengan pemahaman
tematik, maka larangan tersebut bukanlah bersifat mutlak, tapi tergantung
sikapnya.
Ciri-ciri Hadist Tematik.
1.
Ilmu ini bersifat ijtihadi, yang bertunjangkan penelitian
yang mendalam terhadap realiti permasalahan, kepahaman yang sebenar terhadap
nas pada teks dan konteksnya dan
seterusnya menurunkan nas secara tepat kepada isu perbincangan. Perbedaan
pandangan dan kefahaman adalah diterima selagi ianya memnuhi disiplin dan
semangat ijtihad.
2.
Pembahasan ilmu ini membawa semangat kontemporari yang
memberi tumpuan kepada pemikiran dan persoalan yang menjadi peebincangan semasa
bertujuan mencari penyelesaian atau pencerahana islam berdasar nas-nas hadis
sebagai sumber terpentingnya yang ke-2 selepas al-Quran.
3.
Tidak harus mempebahaskan disiplin ilmu ini diluar kotak
limitasinya. Isu-isu yang tidak boleh dikaitkan dengan hadis-hadis secara
lansung dan tidak langsung tidak termasuk dalam perbincangan hadis maudhu’i.
D. Pengertian Kompromi.
Kompromi atau al-jam’u adalah sikap menetapkan untuk mengamalkan kedua dalil
karena terdapat dalil lain yang menolak atau menghilangkan adanya kontradiksi
tersebut. Menurut Iwadi Al Sayyid, metode kompromi (al-jam’u) adalah mempertemukan atau menyesuaikan antara dua hadits
yang kontradiksi untuk mengamalkan isi keduanya. Dalam definisi yang
kontradiksi masih bisa ditambah sandaran dari upaya menolak kontradiksi itu,
yaitu mempertemukan antara dua hadits yang kontradiksi dengan bersandar kepada
dalil yang dapat menolak kontradiksi dalam rangka mengamalkan keduanya.
Definisi ini merupakan sebuah sandaran kaidah ushuliyah yang menyatakan bahwa “pengamalan kedua dalill lebih
utama dari pada mengabaikan salah satunya.”[6]
Syarat-syarat kompromi. Kompromi antara dua hadits yang kelihatannya
kontradiksi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Kedua hadits yang kontradiksi harus bernilai shahih,
sehingga tidak mungkin hadits dha’if berhadapan
dengan hadits shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruhi oleh adanya
penentangan hadits dha’if.
2.
Ta’arud (kontradiksi) itu
tidak dalam bentuk bertolak belakang (tanaqulid) dimana tidak memungkinkan dilakukan
kompromi antara keduanya.
3.
Kompromi itu tidak menyebabkan batalnya salah satu hadits
yang kontradiksi.
4.
Kompromi itu harus memenuhi ketentuan adanya persesuaian
dengan uslub (gaya bahasa) bahasa
Arab dan tujuan syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.[7]
Contoh kompromi hadits yang kontradiksi yaitu:
“Buang hajat dengan menghadap kiblat.”
Pertama
Dari Abu Ayyub bahwa
Nabi SAW. telah bersabda, “ apabila kamu sekalian membuang hajat, maka
janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil
maupun buang air besar…[8]
Kedua
Abdullah bin ‘Umar
berkata, “pada suatu hari, sungguh saya telah naik (masuk) kerumah kami (tempat
tinggal Hafsah isteri Nabi) maka saya melihat Nabi SAW. di atas dua batang kayu
(tempat jongkok buang hajat) untuk buang hajat dengan menghadap kearah Bait al
Maqdis.[9]
Menurut Ibn Qutaibah, dalam kasus hadits seprti ini bisa
terjadi nasakh karena yang satu berisi larangan dan yang lainnya berisi
perintah. Tetapi ia sendiri tidak berpendapat adanya nasakh dalam hadits
seperti ini, karena masing-masing hadis ini mempunyai tempat sendiri-sendiri.
Tempat yang tidak diperbolehkan buang hajat dengan menghadap kiblat adalah
tempat-tempat terbuka tang tidak ada tanaman dan di padang pasir. Dahulu ketika
orang-orang berpergian, lalu singgah di suatu tempat untuk melaksanakan shalat,
maka sebagaian menghadap kiblat dalam rangka shalat dan sebagian yang lain
menghadap kiblat sambil buang hajat. Oleh sebab itu Nabi melarang mereka
menghadap kiblat sewaktu buang hajat, sebagai penghormatan kepada kiblat dan
penyucian terhadap shalat.
Sebagaian orang beranggapan bahwa membuang hajat menghadap
kiblat yang dilakukan di dalam rumah-rumah dan tempat-tempat khusus untuk buang
hajat seprti WC dan tempat-tempat lain yang khusus diperuntukan buang hajat,
dilarang atau makruh. Oleh karena itu Nabi memberitahukan untuk menyingkir
kepada mereka dan mengambil tempat sepi dan kosong untuk buang hajat dan disana
boleh menghadap kiblat. Nabi bermaksud memberi pengajaran kepada mereka bahwa
buang hajat di tempat-tempat khusus itu tidak dilarang dengan menghadap kiblat,
seperti di rumah-rumah, sumur-sumur galian untuk buang hajat yang kotoranya
tertutup, juga di tempat-tempat yang khusus dipersiapkan untuk buang hajat,
boleh dipakai unutk shalat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Metode
pemahaman hadist ada 4 macam yaitu: nasikh mansukh, tekstual kontekstual, tematik,
dan kompromi. Di dalam makalah yang telah kami buat, terdapat pengertian ,
ciri, batasan dan cara mengetahui metode pemahaman hadist yang
di gunakan.
Nasikh mansukh
: ilmu yang membahas hadist-hadist yang
saling berlawanan maknanya, yang tidak mungkin dapat di kompromikan dari segi
hukum dengan cara menentukan salah satu hadist sebagai Nasikh(penghapus) dan
hadist yang lain sebagai mansukh (yang
dihapus).
Tekstual
kontekstual: pemahaman terhadap
sebuah hadist bisa di lakukan dengan pendekatan tekstual(berdasarkan teks yang
tertulis) dan kontekstual(mengacu kepada konteksnya).
Tematik
: pemahaman hadist dengan metode
tematik lebih menfokuskan pada kesamaan tema antara beberapa hadist.
Kompromi:
Kompromi
atau al-jam’u adalah sikap menetapkan
untuk mengamalkan kedua dalil karena terdapat dalil lain yang menolak atau
menghilangkan adanya kontradiksi tersebut.
B.
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhad. 2010. Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya. Semarang: Rasail Media Group.
. 1999. Metodologi tafsir sebuah
rekontruksi epistemologi. Makassar: Berkah utami.
Shahih Bukhari, Juz I, h.40,
Shahih Muslim, juz I, h. 224).
Prof.Dr.H. Yunahar Ilyas, Lc, Kuliah Ulumul Hadis.( Yogyakarta:ITQAN publishing).
[1] Abu
Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al
Maktabah al Ashriyah, t.th)
[4] Syuhudi ismail:1994:18-20)
[5]Metodologi tafsir sebuah rekontruksi epistemologi.(Makassar.Berkah
utami,28 april 1999h.30.)
[7] Zuhad, Fenomena Kontradiksi
Hadis dan Metode Penyelesaianya,(Semarang: Rasail Media Group, 2010, hal.
10.)
[8] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 224
[9] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 225, ibid.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar