Senin, 15 Juni 2015

metode pemahaman hadist


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Hadist adalah segala apa yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw. Baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau. Ada tuduhan dalam teks hadist terdapat inkonsistensi status sebuah perkara yang nantinya akan menimbulkan pemikiran yang negatif. Bahwa Nabi umat islam tidak konsisten, anggapan semacam itu adalah kesalahan orang yang memang tidak paham, bahkan tidak mengetahui seluk beluk ilmu hukum. Pakar hukum islam (mujtahid) terdahulu mengkaji dan meneliti dalil yang secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah penyelesaian.
Dalam makalah ini akan di bahas Nasikh dan Mansukh, Tekstual dan Kontekstual, Tematik, dan Kompromi. sebagai metode-metode yang berdasarkan para ulama hadist dalam menyelesaikan permasalahan seputar kontradiksi hadist.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Nasikh Mansukh?
2.         Apa pengertian Tekstual Kontekstual?
3.         Apa pengertian Tematik?
4.         Apa pengertian Kompromi?
5.         Bagaimana cara mengetahui setiap Metode Pemahaman Hadist tersebut


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Nasikh Mansukh.
Secara etimologi kata nasikh adalah bentuk isim fa’il, sedangkan mansukh adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja nasakha yang mempunyai beberapa makna seperti At tabdil, dan At tahwil.
Menurut istilah adalah ilmu yang membahas hadist-hadist yang saling berlawanan maknanya, yang tidak mungkin dapat di kompromikan dari segi hukum dengan cara menentukan salah satu hadist sebagai Nasikh(penghapus) dan hadist yang  lain sebagai mansukh (yang dihapus).[1] Hadist yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadist yang terakhir adalah sebagai nasikh. Contohnya: hadist tentang ziarah kubur. Hadist pertama melarang orang untuk ziarah kubur(hadist yang dihapus). Kemudian datang hadist kedua yang membolehkan orang untuk ziarah kubur(hadist yang menghapus). Dari dua hadist tersebut maka yang di amalkan adalah hadist yang membolehkan.
Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh yaitu:
1.         Pernyataan dari Rasulullah Saw (penjelasan).
2.         Media (perkiraan dan penjelasan dari sahabat).
3.         Fakta Sejarah.
4.         Ijma’ Ulama.[2]
B.     Pengertian Tekstual dan Kontekstual.
Kata  kontekstual (historis) berasal dari “konteks” yang di dalam kamus besar bahasa indonesia  mengandung dua arti yaitu:
1.         Bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung dan kejelasan makna.
2.       Situasi  yang  ada  hubungan dengan  suatu  kejadian. Tekstual (normatif) adalah pemahaman atas Nabi tanpa memperdulikan proses sejarah yang melahirkannya.[3]
Tekstual  mencakup  batasan-batasan yaitu:
1.         Menyangkut ide moral atau ide dasar atau tujuan.
2.         Ide moral atau ide dasar ini di tentukan dari makna di balik teks (tersirat) sifatnya    yang universal dan lintas ruang waktu.
3.         Bersifat absolut, universal, fundamental.
4.         Mempunyai visi keadilan, demokrasi, mu’asyarah bil ma’ruf.
5.         Menyangkut relasi langsung dan spesifik, manusia dengan Tuhan yang bersifat universal (bisa di lakukan siapa pun, kapan pun, dan dimana pun).
Kontekstual mencakup batasan-batasan yaitu:
1.       Menyangkut sarana atau bentuk.
Bentuk adalah sarana, sehingga kontekstual sifatnya. Dengan demikian, mengikuti Nabi tidak harus berarti berbicara dengan bahasa nabi, memakai nama arab, menyantap kurma sebagai menu utama, berpoligami, memiliki budak, menggunakan hukum rajam, qisas dan lain sebagainya.
2.         Mengatur hubungan manusia sebagai individu dan  makhluk biologis.
Sebagai individu dan sebagai makhluk biologis, manusia membutuhkan makanan dan minuman. Apa yang di makan dan apa yang di minum umat islam dan bagaimana manusia makan dan mengolahnya itu adalah wilayah kontekstual, tidak terbatas pada apa yang di makan dan di minum Nabi dan cara Nabi memakannya. Ide dasar yang dapat kita tiru pada ajaran nabi bahwa apa yang kita makan dan kita minum adalah sesuatu yang halal dan tidak berlebih-lebihan.
3.         Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya.
Semua aspek yang mengatur bagaimana manusia berhubungan dengan orang lain, dengan alam dan dengan seluruh makhluk di bumi adalah wilayah kontekstual.  Ide dasar yang bisa kita contoh dari Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam kerangka untuk menjaga jiwa, kehormatan, keadilan, dan persamaan serta stabilitas secara keseluruhan dalam kerangka tunduk kepada pencipta.
4.         Terkait persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, IPTEK.
Tatanan sosial, ekonomi, politik, budaya manusia, tidak membatasi diri pada bentuk-bentuk  persis pada masa Nabi, tetapi senantiasa  di sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta ketetapan hal itu di terapkan. Misalnya masalah ekonomi pada masa Nabi.  Pada masa nabi mengenai masalah transaksi jual beli yang sesuai dengan ketetapan pada masa itu.
Cara mengetahui hadist tekstual dan kontekstual, kita bisa melihat dari sisi matan hadist, yang mana ungkapan matan hadist mempunyai beberapa corak atau model diantaranya yaitu:
1.         Jawami ‘al kalim. (ungkapan singkat namun padat maknanya)
2.         Bahasa Tamsil.
3.         Ungkapan Simbolik.
4.         Bahasa percakapan (dialog).
5.         Ungkapan Analogi.[4]
 Jadi, Tekstual dan Kontesktual pemahaman terhadap sebuah hadist bisa di lakukan dengan pendekatan tekstual (berdsarkan teks yang tertulis) dan kontekstual mengacu kepada konteksnya). Contohnya : hadist tentang larangan wanita menjadi pemimpin.
Jika hadist tersebut di pahami secara tekstual, maka wanita tidak dibolehkan menjadi pemimpin atau presiden. Tapi, jika di pahami secara kontekstual, maka pemahamannya adalah ada saatnya wanita di larang jadi pemimmpin, ada kalanya wanita di bolehkan jadi pemimpin.
C.      Pengertian Tematik.
Istilah metode tematik dalam pengkajian hadist nabi merupakan terjemah dari al manhaj al maudu’i fi syara al hadist. Selain metode tematik, di kenal sebelumnya dalam metode tahlili dan metode muqaran. Metode tahlili mengandung pengertian pensyarahan atau pengkajian hadist secara rinci dari berbagai aspek tinjaun berdasarkan struktur matan sebuah hadist atau urutan matan hadist dari suatu kitab hadist secara runtut.[5] Jadi, pemahaman hadist dengan metode tematik lebih menfokuskan pada kesamaan tema antara beberapa hadist. Contohnya hadist tentang memanjangkan celana atau sarung melebihi mata kaki. Hadist tersebut berjumlah sekitar enam-delapan hadist sebagian memang berisi larangan melebihkan sarung atau celana melebihi mata kaki. Sebagian lagi menyatakan yang sebaliknya. Sebagaimana lagi menyebutkan larangan tapi di ikuti dengan sikap sombong. Dengan pemahaman tematik, maka larangan tersebut bukanlah bersifat mutlak, tapi tergantung sikapnya.
Ciri-ciri Hadist Tematik.
1.         Ilmu ini bersifat ijtihadi, yang bertunjangkan penelitian yang mendalam terhadap realiti permasalahan, kepahaman yang sebenar terhadap nas pada teks dan  konteksnya dan seterusnya menurunkan nas secara tepat kepada isu perbincangan. Perbedaan pandangan dan kefahaman adalah diterima selagi ianya memnuhi disiplin dan semangat ijtihad.
2.         Pembahasan ilmu ini membawa semangat kontemporari yang memberi tumpuan kepada pemikiran dan persoalan yang menjadi peebincangan semasa bertujuan mencari penyelesaian atau pencerahana islam berdasar nas-nas hadis sebagai sumber terpentingnya yang ke-2 selepas al-Quran.
3.        Tidak harus mempebahaskan disiplin ilmu ini diluar kotak limitasinya. Isu-isu yang tidak boleh dikaitkan dengan hadis-hadis secara lansung dan tidak langsung tidak termasuk dalam perbincangan hadis maudhu’i.
D.      Pengertian Kompromi.
Kompromi atau al-jam’u adalah sikap menetapkan untuk mengamalkan kedua dalil karena terdapat dalil lain yang menolak atau menghilangkan adanya kontradiksi tersebut. Menurut Iwadi Al Sayyid, metode kompromi (al-jam’u) adalah mempertemukan atau menyesuaikan antara dua hadits yang kontradiksi untuk mengamalkan isi keduanya. Dalam definisi yang kontradiksi masih bisa ditambah sandaran dari upaya menolak kontradiksi itu, yaitu mempertemukan antara dua hadits yang kontradiksi dengan bersandar kepada dalil yang dapat menolak kontradiksi dalam rangka mengamalkan keduanya. Definisi ini merupakan sebuah sandaran kaidah ushuliyah yang menyatakan bahwa “pengamalan kedua dalill lebih utama dari pada mengabaikan salah satunya.”[6]
Syarat-syarat kompromi. Kompromi antara dua hadits yang kelihatannya kontradiksi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.         Kedua hadits yang kontradiksi harus bernilai shahih, sehingga tidak mungkin hadits dha’if berhadapan dengan hadits shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruhi oleh adanya penentangan hadits dha’if.
2.         Ta’arud (kontradiksi) itu tidak dalam bentuk bertolak belakang (tanaqulid)    dimana tidak memungkinkan dilakukan kompromi antara keduanya.
3.         Kompromi itu tidak menyebabkan batalnya salah satu hadits yang kontradiksi.
4.         Kompromi itu harus memenuhi ketentuan adanya persesuaian dengan uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan tujuan syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.[7]
        Contoh kompromi hadits yang kontradiksi yaitu:
“Buang hajat dengan menghadap kiblat.”

Pertama
Dari Abu Ayyub bahwa Nabi SAW. telah bersabda, “ apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar[8]
Kedua

Abdullah bin ‘Umar berkata, “pada suatu hari, sungguh saya telah naik (masuk) kerumah kami (tempat tinggal Hafsah isteri Nabi) maka saya melihat Nabi SAW. di atas dua batang kayu (tempat jongkok buang hajat) untuk buang hajat dengan menghadap kearah Bait al Maqdis.[9]
Menurut Ibn Qutaibah, dalam kasus hadits seprti ini bisa terjadi nasakh karena yang satu berisi larangan dan yang lainnya berisi perintah. Tetapi ia sendiri tidak berpendapat adanya nasakh dalam hadits seperti ini, karena masing-masing hadis ini mempunyai tempat sendiri-sendiri. Tempat yang tidak diperbolehkan buang hajat dengan menghadap kiblat adalah tempat-tempat terbuka tang tidak ada tanaman dan di padang pasir. Dahulu ketika orang-orang berpergian, lalu singgah di suatu tempat untuk melaksanakan shalat, maka sebagaian menghadap kiblat dalam rangka shalat dan sebagian yang lain menghadap kiblat sambil buang hajat. Oleh sebab itu Nabi melarang mereka menghadap kiblat sewaktu buang hajat, sebagai penghormatan kepada kiblat dan penyucian terhadap shalat.
Sebagaian orang beranggapan bahwa membuang hajat menghadap kiblat yang dilakukan di dalam rumah-rumah dan tempat-tempat khusus untuk buang hajat seprti WC dan tempat-tempat lain yang khusus diperuntukan buang hajat, dilarang atau makruh. Oleh karena itu Nabi memberitahukan untuk menyingkir kepada mereka dan mengambil tempat sepi dan kosong untuk buang hajat dan disana boleh menghadap kiblat. Nabi bermaksud memberi pengajaran kepada mereka bahwa buang hajat di tempat-tempat khusus itu tidak dilarang dengan menghadap kiblat, seperti di rumah-rumah, sumur-sumur galian untuk buang hajat yang kotoranya tertutup, juga di tempat-tempat yang khusus dipersiapkan untuk buang hajat, boleh dipakai unutk shalat.



















BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Metode pemahaman hadist ada 4 macam yaitu: nasikh mansukh, tekstual kontekstual, tematik, dan kompromi. Di dalam makalah yang telah kami buat, terdapat pengertian , ciri, batasan dan cara mengetahui metode pemahaman hadist  yang  di gunakan.
Nasikh mansukh : ilmu yang membahas hadist-hadist yang saling berlawanan maknanya, yang tidak mungkin dapat di kompromikan dari segi hukum dengan cara menentukan salah satu hadist sebagai Nasikh(penghapus) dan hadist yang  lain sebagai mansukh (yang dihapus).
Tekstual kontekstual: pemahaman terhadap sebuah hadist bisa di lakukan dengan pendekatan tekstual(berdasarkan teks yang tertulis) dan kontekstual(mengacu kepada konteksnya).
Tematik : pemahaman hadist dengan metode tematik lebih menfokuskan pada kesamaan tema antara beberapa hadist.
Kompromi: Kompromi atau al-jam’u adalah sikap menetapkan untuk mengamalkan kedua dalil karena terdapat dalil lain yang menolak atau menghilangkan adanya kontradiksi tersebut.


B.     DAFTAR PUSTAKA
Zuhad. 2010. Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya. Semarang: Rasail Media Group.
. 1999. Metodologi tafsir sebuah rekontruksi epistemologi. Makassar: Berkah utami.
Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 224).
Prof.Dr.H. Yunahar Ilyas, Lc, Kuliah Ulumul Hadis.( Yogyakarta:ITQAN publishing).


[1]    Abu Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al Maktabah al Ashriyah, t.th)
[2] Tahhan (al), Mahmud, Taisir Mustalah al Hadith, (Beirut: Dar al Fikr, t.th)

[3] Debdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta, Balai Pustaka, 1998)

[4] Syuhudi ismail:1994:18-20)

[5]Metodologi tafsir sebuah rekontruksi epistemologi.(Makassar.Berkah utami,28 april 1999h.30.)

[6] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 225, ibid.
[7] Zuhad, Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya,(Semarang: Rasail Media Group, 2010, hal. 10.)

[8] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 224

[9] Shahih Bukhari, Juz I, h.40, Shahih Muslim, juz I, h. 225, ibid.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar